Perjalanan Sejarah Kota Kediri pada abad XIII-XVI Masehi
A. Wilayah Kediri Pada Masa Hindu-Budha
Kerajaan Kadhiri
masa kekuasaan Raja Srẽngga atau Krtajaya yang bertahta pada tahun
1116 Saka atau 1194 Masehi.Pada masa ini, Kadhiri atau yang sekarang
menjadi Kediri masih merupakan kerajaan yang berdiri sendiri(otonom)
dengan Ibukotanya bernama Daha yang terletak di Katang-katang. Para
Samya Haji Katandan Sakapat karena telah berhasil mengembalikan Raja ke
atas Singgasananya di Bhumi Kadhiri, setelah sebelumnya
terpaksa meninggalkan istananya di Katang-katang karena serangan musuh
dari Kerajaan Purwa yang berasal dari Timur.”(Soemadio, Ed,. Dalam
Juma’in, 112). Berdasarkanpenjelasan tersebut letak Daha hingga
berakhirnya kekuasaan Kerajaan Kadhiri sebagai Ibukota Kerajaan
berada di wilayah Katang-katang. Nama toponimi dari wilayah ini
sekarang merujuk pada nama Dusun Katang di Desa Sumberejo, Kecamatan
Ngasem, Kabupaten Kediri, yang berada di sebelah timur sungai Brantas.
Pada tahun 1222 MasehiKrtajaya berhasil dikalahkan oleh Ken Arok.
Setelah mengalami keruntuhan, maka secara resmi wilayah Daha menjadi
Kerajaan Bawahan atau Vassal dari Kerajaan Singhasari, dan
letak ibukotanya berada di daerah Kota Kediri sekarang yang tepatnya di
wilayah Singonegaran Kota Kediri sekarang. Wilayak Kediri pada masa
Kerajaan Singhasari menjadi kerajaan bawahannya pada tahun
1248-1268 Masehi. Setelah kekuasaan Krtajaya dapat ditaklukkan oleh Ken
Arok, letak ibukota kerajaan Daha dipindahkan ke
Singanagara(Singonegaran). Pemindahan tersebut saat Kerajaan Singhasari, diperintah oleh Ranggawuni yang bergelar Wisnuwardhana yang diberikan tahta di Tumapel dan Mahesa Campaka bergelar Narasinghamurtiyang bertahta di Daha(Kadhiri).
Meskipun telah dijabat oleh dua orang raja dalam satu pemerintahan,
akan tetapi tetap menunjukkan keharmonisan. Menurut isi dari Prasasti
Mula Malurung, disebutkan bahwa Wisnuwardhana membuat bangunan suci
bernama”Narasingharăjya”yang artinya sebuah keraton yang
didirikan untuk menjalankan pemerintahan seorang raja. Pembuatan
bangunan tersebut diberikan untuk Mahesa Campaka. Menurut Bosch,
terdapat sebuah Prasasti yang sekarang tersimpan di museum Frank Frud Am Main di Jerman memberitakan tentang”Bhattara ring Singhanagara”, maksudnya seorang raja yang bertahta di suatu tempat bernama Singhanagara. Sebutan “Singhanagara” menunjuk pada Narasinghamurti yang merupakan gelar dari Mahesa Campaka seperti yang sudah dijelaskan di atas. Karena nama “Singhanagara”
pada masa sekarang menunjuk pada sebuah nama tempat atau toponimi dari
Kelurahan Singonegaran, yang terletak di selatan tiga kilo meter dari
situs atau Masjid Setono Gedong sekarang. Jadi Setono Gedong pada msa
lalu adalah candi negara atau candi kerajaan yangberfungsi dari sebagai
simbol kekuatan magis dari kerajaan bawahan Singhasaripada masa pemerintahan Mahesa Campaka di Daha(Kadhiri).
Fungsi candi sebagai pendarmaan hanya pada Agama Hindu, sedangkan
dalam Agama Budha hanya sebagai tempat pemujaan kepada Dewa. Akan
tetapi, situs Setono Gedong bukan sebagai tempat pendarmaan bagi Mahesa
Campaka, karena menurut Kitab Nagarakertagama tempat pendarmaannya di
Kumeper sebagai Siwa Mahadewa dan di Wengker.
Berdasarkan
pernyataan di atas, situs Setono Gedong pada masa lalu sebagai tempat
pemujaan kepada Dewa Wisnu. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya
Artefak(benda buatan manusia) yang berupa lapik arca berelief Garudeya(Garuda)
yang merupakan sebuah burung tunggangan atau wahana dari Dewa Wisnu
yang diatasnya ditambah lagi dengan Padmasana berelief bunga teratai
ganda sebagai lambang kesucian, dan kebangkitan sesudah mati. Menurut
Suwardono(2004:2) teratai dalam filosofi Hindu maupun Budha adalah
bunga yang erat hubungannya dengan penciptaan dewa-dewa dunia, lambang
khayangan sebagai tempat yang digunakan untuk duduk atau berdiri oleh
Para Dewa. Karena bunga teratai sebagai lambang penciptaan dari adi
kodrati. Dari penjelasan mengenai lapik garuda yang di atasnya ditambah
dengan lapik teratai ganda, maka dapat dipastikan yang berdiri di atas
lapik itu adalah arca Dewa Wisnu sebagai dewa pelindung dan
pemelihara. Dari penjelasan tersebut, jelas bahwa Mahesa Campaka
menganut sekte atau aliran Waisnawa(Pengagung Dewa Wisnu). Karena
mengikuti aliran dari ayahnya yaitu Mahesa Wonga Teleng yang juga
pernah bertahta di Kadhiri(Daha) yang pada waktu itu konsep
penyatuan kepercayaan atau sinkretisme dari Agama Hindu dan Budha yang
disebut aliran Tantrayana sudah berlangsung. Maka candi yang berada
pada situs Setono Gedong bukan sebagai Candi Hindu karena bukan
berfungsi sebagai tempat pendarmaan, akan tetapi lebih tepatnya sebagai
Candi Budha aliran Tantrayana karena berfungsi sebagai pemujaan kepada
Dewa, meskipun Dewa Hindu yaitu Wisnu yang diagungkan (Soekmono dalam
Jima’in, 2010:157).. Kemudian anak Wisnuwardhana yang bernama
Kertanagara sebelum dinaikkan tahtanya di Singhasaripada tahun 1292 Masehi, sudah dijadikan penguasa di wilayah Kadhiri(Daha) pada tahun 1254 Masehi. Pada saat Kertanegara dinaikkan tahtanya menjadi Raja Singhasari, yang menjadi raja bawahan Singhasari di Kadhiri adalah Jayakatwang yang akhirnya tahun 1292 menyerang dan berhasilmengalahkan Kerajaan Singhasari(Mulyana, 1979:102).
Fungsi situs Setono Gedong sebagai bangunan suci candi kerajaan(Narasinghanagara atau Narasingharăjya) tetap berlanjut sampai pada masa Majapahit (1293-1527). Kehancuran Kerajaan Singhasari sebagai kerajaan otonom karena serangan dari raja bawahannya yang bertahta di Kadhiri(Daha)
yang bernama Jayakatwang. Akan tetapi kemenangan tersebut tidak
berlangsung lama, karena pada tahun 1293 Masehi mendapat serangan
balasan dari Raden Wijaya yang masing memiliki hubungan dengan Raja
Kertanegara. Raden Wijaya setelah mengalahkan Jayakatwang mendirikan
Kerajaan baru dengan nama Majapahit. Anak Raden Wijaya yang bernama
Jayanagara sebelum dinaikkan tahtanya menjadi Raja di Kerajaan
Majapahit, terlebih dahulu ditempatkan menjadi penguasa atau raja
bawahan di Kadhiri(Daha). Setelah Jayanagara dinaikkan tahtanya
menjadi Raja di Majapahit, seorang tokoh yang pada akhirnya membawa
kejayaan bagi majapahit yang bernama Gajah Mada diangkat menjadi patih
di Kadhiri(Daha) setelah berhasil mengalahkan pemberontakan
Kuti yang sangat membahayakan bagi Prabu Jayanagara pada tahun 1319
Masehi. Sepeninggal Prabu Jayanagara setelah menjadi Raja Majapahit,
penggantinya adalah Tribhuanotunggadewi Jayawisnuwardhana sebagai Raja
di Majapahit. Sedangkan di Kadhiri(Daha) diperintah oleh Raja
Dewi Maharajasa yang masih saudara kandung dari
Tribhuanotunggadewi(Juma’in, 2010:117). Sampai menjelang akhir masa
kejayaan Majapahit, wilayah Kediri yang dahulu bernama Kadhiri atau
Daha masih merupakan wilayah penting yang digunakan sebagai tempat
untuk menjalankan tahta Kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan
Girindrawardhana Dyah Rana Wijaya dengan patihnya yang bernama Patih
Udara. Pemindahan pusat pemerintahan Majapahit dari Trowulan ke Daha(Kadhiri) karena terjadi serangan dari Bhre
Kertabhumi yang pada akhirnya juga dapat dikalahkan pada tahun 1478 M.
Akan tetapi, letak tahta Majapahit di wilayah Kediri belum dapat
diketahui dengan pasti. Karena kurangnya sumber-sumber data sejarah yang
berkaitan dengan hal tersebut. Meskipun begitu, yang jelas Ibukota
Majapahit sudah berpindah ke Daha atau Kadhiri saat terjadi serangan tentara Islam dari Kerajaan Demak (Juma’in, 2010:119).
Kemudian
pada saat terjadi perebutan kekuasaan oleh keluarga raja-raja
Majapahit, yaitu antara Kertabhumi dan Girindrawardhana pada situasi
yang kacau itu juga mempengaruhi kehidupan ekonomi dan sosial-budaya
masyarakat. Akibat dari melemahnya perekonomian rakyat pada saat itu
maka banyak pedagang-pedagang muslim yang diantaranya adalah
mubalig-mubalig, tinggal dan berdiam di perkampungan-perkampungan.
Karena tinggal di perkampungan maka terjadilah sebuah proses interaksi
atau hubungan sosial dengan masyarakat lokal. Agama Islam dapat
diterima oleh masyarakat Nusantaradengan baik karena syarat untuk
masuknya mudah dan tidak mengenal perbedaan golongan berdasarkan sistem
kasta seperti pada Agama Hindu(Poesponegoro, 1984:178-179).
B. Kadhiri pada masa Perkembangan Islam
Sebelumnya sudah dibahas tentang kemenangan Girindrawardhana atas Bhre Kertabhumi pada tahun 1478 M, yang dapat melanjutkan tahtanya kembali dengan memindahkan tahtanya di Daha(Kadhiri).
Pada dua puluh tahun pertama abad XVI, terjadi serangan tentara Islam
Demak yang dipimpin secara beruntun oleh dua imam kerajaan. Dua
serangan utama dipimpin oleh Imam Demak keempat yang bernama
Rahmatullah(Sunan Ngudung), akan tetapi hasilnya gagal. Sedangkan Imam
tersebut terbunuh pada serangan kedua. Kemudian serangan ketiga
dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Djakfar al-Shodiq(Sunan Kudus),
telah memimpin langsung pada penyerangan tahun 1524 tersebut dan
berhasil merebut Ibukota Kerajaan Majapahit di Daha(Kadhiri).
Pada kemenangannya, Sunan Kudus membangun sebuah “Monumen Peringatan”
untuk mengenang jasa-jasa ayahnya yang gugur dalam serangan kedua.
Monumen tersebut bukan berarti sebagai makam dari Rahmatullah(Sunan
Ngudung), karena menurut Hikayat Hasanudin dimakamkan di dekat
Masjid Demak. Sehingga yang dimakamkan Setono Gedong adalah sesuatu
yang melambangkannya, seperti aksesoris yang selalu dikenakan olehnya.
Akan tetapi lebih tepatnya monumen itu dijadikan lambang kemenangan
tentara Islam Demak yang atas tentara Majapahit. Monumen peringatan
tersebut berupa sebuah inskripsi tertulis menggunakan huruf arab yang
terpahat pada Makam Syeh Wasil Syamsudin, isinya adalah
”Ini
makam Imam yang sempurna, seorang alim mulia, dan syekh yang saleh,
yang menghafal Kitab Allah yang Maha Tinggi, yang paling menyempurnakan
Syariat Nabi Allah-semoga Allah memberikan rahmat dan keselamatan
kepadanya-Al Syafi’i Mazhabnya, Al-Abarkuhi(?).......Al-Baharajni(?)
nisbahnya. Dialah Mahkota(?) (Pelita?) putusan(para Hakim)(?), dan
Matahari................Sembilan ratus(?)dua puluh(?).......hijrah
nabi.......”
(Guillot dan Kallus dalam Juma’in, 2010:108)
Dalam
terjemahan dari inskripsi makam Syeh Wasil Syamsudin di atas telah
memberikan petunjuk tentang masuknya Islam di wilayah Kediri melalui
seorang tokoh yang digambarkan seperti matahari. Akan tetapi dalam
terjemahan yang diberi titik-titik panjang dan tanda tanya merupakan
huruf arab yang sudah tidak dapat dibaca dengan jelas karena berada
disitu sudah lama sehingga sekarang menjadi kusam atau aus. Pembacaan
angka tahun pada isi inskripsi di atas kurang jelas, maka untuk
menentukannya dengan patokan antara 920-929 Hijriah. Apabila dijadikan
masehi menjadi 1514-1523 M. Jadi itulah yang dapat digunakan sebagai
patokan penentuan tahun diresmikannya inskripsi pada makam Syeh Wasil
Syamsudin tersebut.
Pada perkembangan Islam di Kediri, hal-hal
berkaitan dengan Agama Hindu maupun Budha semuanya dihancurkan karena
dianggap musyrik yang akan membawa dampak pada kekafiran. Menurut
Juma’in (2010:175) pengrusakan candi pada Situs Setono Gedong beserta
isinya karena adanya faktor politik dari ekspansi Kerajaan Demak ke
Ibukota Majapahit yang berada di Kediri pada dua puluh tahun pertama
abad XVI. Alasan tersebut didukung lagi oleh kepentingan para penguasa
Islam yang berada di Kediri pada waktu itu. Pengrusakan pada situs
Setono Gedong terjadi lagi pada tahun 1815 M. Hal ini berdasarkan
sumber data sejarah yang ditulis oleh Thomas Staford Raffles dari hasil
laporan perjalanannya di Nusantara pada waktu itu, yang kemudian pada
tahun 1817 di buku-kan dengan judul”History of Java.” Dalam buku tersebut pada halaman 380 menyebutkan Informasi tentang Setono Gedong yang berisi:
“Disekitar
Ibukota Kediri kaya akan benda-benda kuno dalam berbagai bentuk,
tetapi yang ditemukan di sana masih dalam keadan yang baik daripada
yang ditemukan di tempat lain, dengan biaya yang besar dan tenaga yang
dikerahkan untuk membongkar bangunan dan untuk memotong patung yang ada
di sana. Pada semua bagian situs di bangunan utama itu dapat saya
temukan fragmen-fragmen yang tertutup pahatan relief, recha-recha yang
rusak dan umumnya dipahat di atas batu yang dipotong membujur,
dikerjakan saat membangun candi-candi, di samping bagian dasar yang
sangat luas dari batu bata kemudian dinding bangunannya. Lebih jauh
saya menduga dari keteraturan dan keelaganan bahan-bahan yang digunakan
bahwa bahan dan bangunan yang dibangun hampir di seluruh bangunan ini
di bongkar oleh penganut Mohamet pada periode perkembangan ajaran
tersebut. Candi ini disebut Astana Gedong, tetapi tidak ada penduduk
yang memberikan informasi saat pembangunan bangunan ini, seperti hanya
asal ajaran Mohamet, saya hanya mempunyai sedikit pandangan mengenai
hal itu untuk menghindari ketidaksesuaian gerakan dengan penduduk
setempat yang ditunjukkan sebagai pendekata dari ketaatan mereka, dan
hal ini merupakan keadaan yang sangat sesuai bagi orang penjajah yang
bebas untuk bergerak tanpa adanya gangguan. Semua benda-benda kuno ini
tidak diragukan lagi berasal pada periode sebelum munculnya agama
Mohamet, atau dari apa yang oleh penduduk setempat disebut sebagai wong
kuno, kapir atau buda.”
(Raffles dalam Juma’in, 2010:121)
Berdasarkan
sumber yang ditulis oleh Raffles di atas, dapat disimpulkan adanya
pengerusakan kedua pada tahun 1815 setelah ekspansi Demak yang
berlangsung pada dua puluh tahun pertama abad XVI. Maka pada masa
itulah mulai terjadi lanjutan masa peralihan dari Hindu-Budha ke Islam.
Raffles menyebut bangunan situs Setono Gedong adalah candi, karena
terdapat bagian yang luas terbuat dari batu bata, terdapat dinding
bangunan, terdapat fragmen-fragmen relief, terdapat recha-recha(arca-arca)
yang rusak dan dipahatkan pada potongan batu membujur(Juma’in,
2010:122). Dimungkinkan juga pada ekspansi Demak pengerusakan pada situs
Setono Gedong tidak begitu parah, atau bisa juga hanya menimbun
artefak-artefak dari bangunan masa Hindu-Budha tersebut ke dalam tanah.
Akan tetapi yang terjadi pada tahun 1815 jauh lebih parah karena sumber
yang ditulis oleh Raffles menyebutkan adanya pengerahan biaya dan
tenaga yang besar untuk menghancurkan situs Astana (Setono)
Gedong oleh Penganut Mohamet. Yang dimaksudkan penganut Mohamet tidak
lain adalah penganut ajaran Nabi Muhammad yaitu Umat Islam di Kediri
pada waktu itu. Selanjutnya pada kurang lebih tahun 1897 M, di halaman
situs Setono Gedong telah dijadikan tempat ibadah oleh penduduk
setempat yang beragama Islam, dengan hanya masih beralaskan tanah.
Mungkin anggapan penduduk setempat tentang Masjid Tiban yang dahulu
pernah digunakan menunjuk pada masjid yang beralaskan tanah ini. Karena
nama “Tiban” sekarang menunjuk pada sumur tua di sebelah utara situs.
Akan tetapi pada tahun 1967 M baru dibangun masjid di di depannya atau
di sebelah timurnya dengan nama Masjid Auliya’ Setono Gedong. Pada saat
itu juga baru disertifikatkan tanah negara tersebut bebagai bangunan
masjid hingga sekarang
Berdasarkan perjalanan sejarahnya mulai abad XIII-XVI peran wilayah Kediri sebagai kerajaan bawahan(Vassal) sangat penting sebagai pelatihan calon pemimpin besar Kerajaan Singhasari
hingga Majapahit. Bahkan sampai menjelang akhir kekuasaan Majapahit,
Kediri dijadikan Ibukota Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan
Girindrawardhana wangsa sebelum terjadinya ekspansi Demak. Sedangkan
pada tahun 1897, situs Setono Gedong masih berupa masjid yang berada di
atas tanah. Karena dibangun menjadi sebuah bangunan masjid baru tahun
1967. Hal ini mengingatkan pada hakekat adanya masjid yang sebenarnya
hanya sebidang tanah di permukaan bumi ini yang dapat dijadikan sebagai
tempat untuk beribadah bagi orang muslim.
- 2. Masa Peralihan Agama Pada Masyarakat Kediri
Daerah Kediri pada masa lalu memiliki peranan yang sangat penting menjadi pusat suatu kerajaan baik yang berdiri sendiri(otonom), yaitu pada masa Kerajaan Kadhiri, maupun menjadi kerajaan bawahan(Vassal) pada masa Kerajaan Singhasari
sampai Majapahit. Peranan penting tersebut juga masih terlihat pada
masa terjadinya transisi kepercayaan dari Hindu-Budha ke masa
perkembangan Islam, atau disebut dengan masa peralihan(Juma’in,
2010:111-112).
Masa peralihan adalah suatu periode dalam
perjalanan sejarah masyarakat Nusantara yang ditandai dengan terjadinya
transisi kebudayaan dari zaman Hindu-Budha ke Islam secara
resmi(Damais dalam Juma’in, 2010:25). Masa peralihan terjadi sekitar
abad XIV-XVI Masehi. Meskipun sebenarnya bila dilihat dari peninggalan
yang paling tua, Agama Islam sudah masuk ke Jawa sekitar abad XI-XII
Masehi dengan dibuktikan adanya kosa kata dalam Kitab Bharatayudha,
Gatotkacasraya, dan Prasasti Panumbangan yang sejaman dengan
pemerintahan Raja Jayabaya dari Kerajaan Kadhiri(1135-1157).
Penyebab lambatnya perkembangan Islam pada saat itu adalah masih
kuatnya pengaruh dari Kerajaan Hindu-Budha yang antara lain, masa
Wangsa Isyana(Mpu Sindok), masa Airlangga, Jenggala dan Kadhiri pada
kurun waktu abad XI-awal abad XIII Masehi, serta dilanjutkan masa Singhasaridan
Majapahit pada abad XIII-XV Masehi. Pada saat keruntuhan Majapahit
inilah mulai muncul kerajaan-kerajaan Islam di Pulau Jawa, yang salah
satunya adalah Kerajaan Demak yang merupakan kerajaan Islam Pertama di
Pulau Jawa dan didirikan oleh keturunan Majapahit yang bernama Raden
Patah.
Ciri-ciri umum adanya Masa Peralihan yaitu dengan adanya:
- Arsitektur masjid dan makam yang masih menunjukkan gaya dari masa Hindu-Budha. Seperti penggunaan atap tumpang pada bangunan Masjid Jawa dan pembuatan bangunan bercungkup atau berkubah pada makam orang yang dianggap sakral.
- Ragam hias pada dinding masjid dan makam, seperti relief bersayap yang melambangkan kelepasan, pintu masjid atau makam yang berbentuk paduraksa atau bentar dengan ukiran-ukiran bunga teratai yang dalam Agama Hindu maupun Budha sebagai lambang surgawi dankebangkitan sesudah mati(Hoop dalam Juma’in, 2010:31). Selain itu juga bunga matahari sebagai lambang penerangan dan ketangguhan, dan pola hias tanaman menjalar sebagai ornamen tambahan.
- Seni hias kaligrafi Islam, yaitu tulisan-tulisan dengan memakai arab yang ditulis pada dinding masjid maupun makam yang menunjukkan gaya seni(Juma’in, 2010:25-33).
- 3. Gaya Arsitektur Masjid Setono Gedong
Letak halaman Masjid maupun makamnya biasa
ya
terbagi manjadi tiga bagian yang semakin ke belakang semakin suci.
Ketiga halaman itu juga merupakan hasil akulturasi dari pembuatan
halaman candi di tanah mendatar yang mengandung makna kaki, lereng, dan
puncak gunung,karena umat Hindu Jawa pada masa lalu dalam membuat seni
bangun berlandaskan pada bentuk Gunung Himalaya sebagai gunung yang
disucikan di India. Begitu juga dengan Masjid Setono Gedong yang juga
memiliki tiga halaman, halaman pertama yang sekarang adalah masjid
Induk, kedua adalah pendopo yang dibangun di atas reruntuhan Candi
Hindu dan di keliling. Sedangkan pada halaman terakhir adalah Makam
Syeh Wasil Syamsudin(Juma’in, 2010:27). Hiasan masjid makam memiliki
fungsi ganda, yaitu sebagai fungsi teknis dan fungsi dekoratif. Sebagai
fungsi teknis, hiasan pada masjid-makam berkaitan dengan kegunaan
praktis atau sebagai teknis bangunan. Sedangkan fungsi dekoratif, pada
dinding masjid-makam digunakan untuk memperindah bangunan. Selain itu
juga menyimpan pesan dan media untuk memenuhi tujuan religi-magis.
Misalnya ukir-ukiran teratai, daun-daunan, dan lain-lain(Mustopo dalam
Juma’in, 2010:28).
3.1.Pintu Gerbang Jalan Menuju Masjid Setono Gedong
Pintu
gerbang jalan menuju Masjid Setono Gedong dibuat pada tahun 2002
dengan gaya kombinasi antara seni tradional dan modern. Gaya
tradisional tampak pada hiasan yang memakai modif daun-daunan berjumlah
tiga serta atasnya ditambah dengan modif bunga matahari pada
masing-masing bagian sisi kanan dan kiri gapura. Sedangkan pada bagian
atas gapura terdapat arca Garudeya(Garuda) dengan membawa
sebuah kendi di atas kepalanya. Pembuatan gapura luar ini ternyata
sedikit mengadopsi dari ukir-ukiran maupun relief kuno kuno yang
terdapat pada masjid-makam Syeh Wasil Syamsudin. Paling menarik dari
pintu gerbang jalan menuju Masjid-Makam Setono Gedong adalah adanya arca
Garuda membawa sebuah kendi, dan di bagian belakang kepalanya juga di
tambah relief berupa kepala rajawali. Hal tersebut dapat dipahami,
bahwa masyarakat yang menyusun konsep pembuatan gapura tersebut percaya
bahwa burung rajawali adalah personifikasi dari Garuda. Meskipun arca
tersebut adalah hanya sebagai pelengkap bangunan gapura luar dan hasil
pesanan dari pemahat arca modern, akan tetapi Burung Garudeya(Garuda)
dalam dalam filosofi Hindu mengandung makna keberanian, kegagahan, dan
pengorbanan. Karena di dalam filosofis tersebut, Garudeya diceritakan
memiliki sifat rela berkorban sampai menuruti syarat kakak ular untuk
mencuri air suci (Amertha) milik para Dewa-Dewa Hindu demi
menyelamatkan ibundanya bernama Winata yang ditawan oleh Dewi Kadru
sebagai ibu dari ular-ular jahat, sampai rela mengorak-ngabrik khayangan
demi mendapatkan air suci (Amertha) yang diminta oleh kepada
kakak ular untuk menebus Ibunya. Kemudian Dewa Wisnu berhasil merebut
Amertha kembali dari tangan ular ketika Garuda telah berhasil membawa
kabur ibunya dari istana ular. Akan tetapi pada akhirnya dia
menjaditunggangan atau wahana dari Dewa Wisnu seperti apa yang telah
dijanjikannya sebelum membawa Amertha ke Istana Ular.Dari cerita di
atas, Arca tiruan(Tunulad) dari Garuda(Garudeya) yang
diletakkan di atas gapura jalan Masjid Setono Gedong ternyata secara
tidak langsung memiliki arti pengorbanan, karena digambarkan Garuda
membawa sebuah kendi yang sebenarnya itu bukan bentuk dari guci amertha
yang sesungguhnya seperti pada relief Candi Kidal-Malang. Akan tetapi,
hal tersebut sebagai bukti bahwa masyarakat di sekitar masjid tersebut
ternyata juga mengetahui dan memahami dari filosofis cerita Garuda(Garudeya) yang sebenarnya. Menurut Soekmono (1973:58) lambang dari Kerajaan Kadhiri
yang terakhir sebagai kerajaan otonom pada masa pemerintahan Prabu
Krtajaya(Dandang Gendis) sebelum di hancurkan oleh Ken Arok menggunakan
lencana negara berupa Garudhamuka, seperti yang digambarkan
pada gapura luar masjid tersebut. Masyarakat Setono Gedong
dalampemesanan arca tinulad tersebut dapat juga terinspirasi dari
tinggalan arkeologis yang sekarang diletakkan di sebelah timur pendopo
barat belakang masjid yang berupa relief garuda di masing-masing sisi
sebuah bekas lapik arca Dewa Wisnu. Selain itu burung garuda sudah tidak
asing lagi diketahui oleh masyarakat kediri pada umumnya secara turun
temurun, karena gambar burung tersebut sampai sekarang juga menjadi
lambang dari Pemerintahan Kota Kediri. kemudian masyarakat mengambil
bentuk dari arca tinulad yang terdapat di depan Museum Airlangga-Kota
Kediri dengan menyempurnakannya dengan membawa sebuah kendi yang
disamakan samakan guci amertha seperti konsep sebenarnya yang ada di Candi Kidal-Malang. Sedangkan kendi amertha tersebut
dapat dimaknai sebagai lambang kesucian. Jadi dapat disimpulkan,
lambang Garuda pada gerbang jalan menuju Masjid Setono Gedong oleh
masyarakat sekitar dilambangkan sifat dari Syeh Wasil Syamsudin yang
dalam mitosnya beliau penuh pengorbanan dan semangat telah menyebarkan
Agama Islam yang dianggap suci oleh penganutnya.Makna lain digunakannya
lambang tersebut pada gapura luar dan juga sebagai lambang Pemerintahan
Kota Kediri sekarang ini adalah bentuk inspirasi untuk mengembalikan
lagi kejayaan di masa lalu.
Bunga matahari pada bagian sisi depan
gapura sebagai lambang penerangan dan ketangguhan. Hal ini juga
didukung dari arti kata”Syamsudin” pada nama Penyebar Islam pertama di
Kediri tersebut, yang berasal dari kata “Syam” dalam bahasa arab berarti matahari.
Pintu gerbang masjid yang disebut gapura, oleh ulama Islam pada perkembangannya disamakan dengan kata “ghafur”
artinya yang memberi ampun sekaligus juga bermakna pertobatan,
permohonan ampun. Hal ini menunjukkan bahwa gapura masjid sebagai pintu
tobat bagi setiap manusia yang telah menyadari akan dosa-dosanya.
Karena Allah SWT dalam salah satu nama-nama sucinya(Asma’ul Husnah) disebutkan sebagai Al-Ghaffar yang berarti Maha Pengampun
3.2.Pintu Gerbang Utama Masuk ke Lingkungan dan serambi Masjid Setono Gedong
Masjid Setono Gedong bila dilihat dari sisi luar tampak seperti bangunan kuil cina atau masyarakat Kediri menyebutnya Klenteng. Keunikan
tersebut karena atapnya berbentuk seperti pagoda dan pintu masuknya
seperti pintu masuk Kuil Cina.Hal tersebut terjadi karena Kelurahan
Setono Gedong berada di tengah pusat pertokoan milik etnis Cina. Selain
itu juga didukung adanya sebuah kelurahan yang bernama Pocanan yang
berada di sebelah utara Masjid Setono Gedong. Menurut Hutami (2010)
wilayah Kelurahan Pocanan dahulu adalah sebuah tanah persil atau sima
milik seorang bangsa Cina kaya bernama Po Cang An pada masa Kediri Kuno. Akan tetapi belum dapat diketehui lebih jauh lagi tentang Po Cang Ankarena
kurangnya sumber-sumber data sejarah. Meski begitu, etnis Tionghoa
sudah lama sekali mendiami wilayah Pocanan ke selatan sampai di sekitar
Area Masjid Setono Gedong. Karena di sebelah barat Masjid Setono Gedong
juga masih terdapat bekas-bekas toko milik orang Cina yang sudah lama
tidak terpakai. Sedangkan Bangunan Masjid Setono Gedong baru dibangun
pada tahun 1967, yang sebelum dibangun berupa bangunan masjid, kurang
lebih tahun 1897 M di halaman situs Setono Gedong telah dijadikan tempat
ibadah oleh penduduk setempat yang beragama Islam, dengan hanya masih
beralaskan tanah. Mungkin anggapan penduduk setempat tentang Masjid
Tiban yang dahulu pernah digunakan menunjuk pada masjid yang beralaskan
tanah ini. Karena nama “Tiban” sekarang menunjuk pada nama sumur tua di
sebelah utara teras pendopo. Pada saat sebelum berbentuk bangunan
masjid, kemungkinan umat muslim cina yang tinggal di sekitar masjid juga
ikut beribadah bersama masyarakat Kelurahan Setono Gedong. Maka dari
itu muncul sikap interaksi sosial yang kuat sehingga menimbulkan rasa
solodaritas yang tinggi. Sehingga pada saat pembangunan masjid tidak
hanya menggunakan arsitektur tipe Jawa saja, melainkan berbentuk
perpaduan budaya dari bangsa Tionghoa dan masyarakat Setono Gedong.
Pernyataan
di atas dapat disimpulkan dengan adanya bentuk arsitektur kuil cina
pada Masjid Setono Gedong sebagai bukti pada masa lalu bahwa
masyarakat Kelurahan Setono Gedong dan para Etnis keturunan
Cina/Tiongkok yang beragama telah hidup rukun dan damai.Karena Masjid
Setono Gedong pada masa lalu tidak hanya digunakan oleh umat Islam
setempat saja, tetapi juga umat Islam bangsa Tionghoa dan bangsa-bangsa
lain pada umumnya. Rasa solidaritas dan kerukunan tersebut juga
dibuktikan dengan bentuk bangunan utama, yaitu bangunan masjid
berarsitektur cina dan bangunan pendopo beratap tumpang tingkat tiga dan
dipuncaknya terdapat mustaka yang merupakan ciri khas bangunan jawa,
sekarang berada di belakang Masjid Setono Gedong.
Bangunan pintu
masuk area masjid memiliki bentuk yang sangat unik, karena meskipun
dibuat dengan gaya modern masih memperlihatkan sedikit unsur
tradisional. Karena pada bagian atas pintu gerbang tersebut dibuat
cekung di tengah yang bentuknya menyerupai batu nisan makam kaum
perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pembuatan pintu gerbang ini,
masyarakat setempat terinspirasi dari seni arsitektur pada batu nisan
yang ada di makam belakang masjid.Masjid Setono Gedong memiliki serambi
yang cukup luas. Tiang-tiang penyangga pada serambi masjid ini
masing-masing dihiasi tulisan lafal “Allah” di bagian ujungnya. Selain
itu di tembok serambi atau di atas pintu masuk ruang utama masjid
terdapat ukiran-ukiran menggunakan huruf arab yang membentang dari
selatan hingga utara serambi. Hiasan ukiran memanjang dan ramai pada
dinding serambi tersebut mengingatkan kita pada tulisan-tulisan huruf
cina yang berupa mantra yang dipercaya dapat mengusir roh jahat dan
ditempatkan di dinding kuil-kuil Cina. Hal ini sangat memiliki arti
kesamaan dalam tujuan pembuatannya, karena tulisan arab berupa aya-ayat
suci Al-Qur’an yang di ukir pada dinding serambi masjid terebut tidak
hanya dibuat sebagai hiasan saja tetapi juga dipercaya dapat mengusir
roh jahat yang mengganggu manusia untuk beribadah.
Pada bagian
pojok timur laut serambi terdapat satu kentongan berposisi vertikal
yang berlasdaskan kayu menyilang dan satu kentongan yang digantung
berjajar dengan bedug. Pada kentongan yang ditempatkan dalam posisi
tergantung terdapat ukiran tanggal dibuatnya yaitu 17 April 1986, maka
sekarang usia dari kentongan tersebut sudah 25 tahun.Pada saat masuknya
waktu sholat, sebelum menyerukan adzan terlebih dahulu mengumpulkan
orang-orang dengan cara memukul kentongan atau pun bedug. Kedua alat
ini merupakan benda yang tradisional untuk memberikan tanda-tanda
kepada masyarakat melalui media suara berdasarkan kode-kode tertentu.
Sedangkan bedug, pada umumnya terbuat dari sebatang pohon yang dikeruk,
dengan rentangan kulit kerbau atau sapi pada satu atau kedua sisinya.
Bedug hampir mirip dengan alat musik jawa yang disebut dengan gendang,
akan tetapi yang membedalan adalah bagian sisinya. Karena kendang pada
bagian sisi nya dibuat dalam ukuran yang berbeda, sedangkan bedug kedua
sisinya dibuat sama. Menurut Amen Budiman dalam Iim Mulyana(2010)
mengatakan bahwa asal usul dari bedug yang diletakkan pada
serambi-serambi mesjid Jawa itu merupakan pengaruh dari arsitektur
Cina, yang mana bedugpada serambi kelenteng diletakkan tergantung.
Selain
waktu salat, pukulan bedug juga menandai awal dan akhir puasa, serta
hari raya haji. Jadi pengaruh arsitektur cina bangunan Masjid Setono
Gedong dapat terlihat pada pintu gerbang utama masjid, penempatan gaya
ukiran memanjang di atas pintu masuk masjid, dan posisi bedug yang
digantung pada bagian serambi.
No Response to "SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DIWILAYAH KEDIRI"
Posting Komentar